Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tetap menyelenggarakan ujian nasional pada Maret 2010. Namun, Depdiknas akan memfasilitasi anak didik yang gagal dengan ujian nasional ulangan pada Mei 2010. “Ini sebagai salah satu upaya untuk mengatasi dampak psikologis anak yang takut gagal ujian karena cuma dilaksanakan sekali,” kata anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Mungin Edi Wibowo, saat berbincang dengan VIVAnews, Senin, 30 November 2009.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penyelenggaran ujian nasional pada 2010 dilakukan dalam dua tahap. Pertama ujian nasional utama pada Maret 2010, dan kedua ujian ulangan pada Mei 2010. “Jadi yang gagal di ujian utama bisa mengikuti ujian ulangan, hanya mata pelajaran yang gagal saja,” ujarnya. “Kalau gagal lagi baru ikut ujian paket atau mengulang tahun depan.” Ujian Nasional utama tingkat SMA, MA, dan akan digelar pada 22-26 Maret 2010, tingkat SMK 22-25 Maret 2010, dan tingkat SMP pada 29 Maret sampai 1 April 2010. Sedangkan ujian ulangan akan dilakukan pada 10-14 Mei 2010 untuk tingkat SMA, dan 17-20 Mei 2010 untuk tingkat SMP.
Namun, pemerintah akan memberikan tanda pada ijazah siswa yang mengikuti ujian ulangan. Akan tertulis dua nilai dalam ijazahnya. Pertama nilai mata pelajaran yang gagal, dan nilai pelajaran yang lulus. “Biar adil.”
Berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah, Mungin mengatakan, tidak ada kalimat eksplisit yang melarang pemerintah menggelar ujian nasional. Putusan itu hanya meminta pemerintah untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, kualitas guru, serta memperhatikan dampak mental anak didika yang gagal dalam ujian nasional. Kasus ujian nasional ini bermula dari gugatan masyarakat (citizen lawsuit) terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu. Hingga akhirnya, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. MA melarang ujian nasional yang diselenggaran Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.
Kisah Pahit Para Korban Ujian Nasional
Ujian nasional digugat. Ujian sebagai standarisasi kelulusan itu dianggap mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional.
Seperti yang dialami Siti Hapsah pada 2006. Mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara ujian ujian nasional. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26.
Siti yang mengambil jurusan IPA meraih angka ujian nasional 4,00. Sementara standar kelulusan minimal meraih nilai 4,26. “Saya jatuh di nilai Matematika, untuk Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris 8 semua,” ujarnya.
Siti berkisah, sebelum ujian, ia sudah dinyatakan lolos seleksi sebagai mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Siti selalu menduduki peringkat satu atau juara umum sejak duduk di bangku kelas 1 di Perguruan Rakyat II Jakarta Timur. “Saya seperti dijegal ujian nasional,” ujarnya.
Pengalaman serupa dialami Indah, mantan siswa SMA PSKD 7 Jakarta. Ia juga dinyatakan tak lulus gara-gara nilainya kurang 0,26. Seperti Siti, Indah juga gagal di mata pelajaran Matematika. “Saya sedih, karena nilai-nilai saya selama tiga tahun sekolah seperti diabaikan,” ujar Indah.
Indah yang tergabung dalam Forum Korban UN, mengisahkan, seorang kawannya harus kehilangan beasiswa ke luar negeri gara-gara gagal di ujian nasional. “Namanya Melati, dia sampai nangis-nangis,” ujar Indah.
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, mengatakan, ujian nasional mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. “UN hanyalah kebijakan yang menghina intelegensi anak didik,” katanya.
Darmaningtyas juga mengkritik penetapan standar kelulusan yang hanya didasarkan pada mata pelajaran tertentu, seperti jurusan IPA di tingkat SMA yang hanya melibatkan Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sebagai standar kelulusan.
Padahal banyak peserta didik yang memiliki prestasi di luar mata pelajaran yang ditentukan dalam ujian nasional. Seperti Rusti Setiyati, mantan siswi SMAN I Setu, Kabupaten Bekasi, yang kehilangan kesempatan kuliah di Universitas Negeri Jakarta gara-gara tak lulus ujian nasional.
Padahal sebelum ujian, Rusti telah dinyatakan lulus ujian seleksi PMDK di kampus tersebut. Ia diterima sebagai calon mahasiswa UNJ atas sejumlah medali emas yang diraihnya di bilang olahraga lari.
Kisah Siswa SMP yang tak Lulus Ujian Nasional di Medan
‘Saya sudah berjuang maksimal,” ujar Sari (bukan nama sebenarnya), yang ketika ditemui wartawan koran ini, masih didampingi ibunya Ida (juga bukan nama sebenarnya), kemarin (21/6).Sari adalah siswa kelas IX di SMP Negeri 42 Medan Jalan Platina V Kelurahan Titi Papan Kecamatan Medan Deli, merasa sangat kecewa dengan hasil UN yang secara langsung dilihatnya dengan kedua matanya, sesaat setelah diterima Ida dari wali kelasnya, yang diketahui dengan dua kata yang tertera dalam surat hasil kelulusan UN tersebut, yakni ‘TIDAK LULUS’.
Sari menuturkan, perjuangan yang selama ini telah dilakukannya untuk mewujudkan cita-cita bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi di sekolah-sekolah favorit di Medan, hanya sia-sia. “Nasib saya untuk hidup lebih layak dengan bisa bersekolah ke jenjang lebih tinggi dan lebih baik, hanya ditentukan dengan ujian yang digelar selama empat hari saja pada 27 hingga 30 April 2009 lalu,” sesalnya.
Apalagi, menurut Sari, pemerintah tidak mementingkan nilai-nilai yang telah didapatnya selama bersekolah tiga tahun tersebut. “Bagi saya, selain nilai yang diperoleh di tiap semester di sekolah, tingkah laku dan adab siswa juga seharusnya diperhatikan oleh pemerintah untuk meluluskan siswa,” katanya.
Ida juga turut menyesalkan hasil UN yang diterimanya. “Kemarin, saya tidak mempunyai firasat apa-apa tentang ketidaklulusan Sari. Karena, menurut dan seperhatian saya, anak saya ini sangat giat dalam menimba ilmu, dan menurut wali kelasnya, Sari juga selalu meraih nilai yang cukup bagus setiap semesternya,” ungkap Ida.
Namun begitu, lanjut Ida, peraturan yang dibuat pemerintah saat ini memang semata-mata untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, terutama bagi pelajar yang memang mempunyai peran sangat penting bagi kemajuan bangsa dan negara ke depannya. “Namun, cara pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan ini tidak dibarengi mutu guru yang seharusnya sejalan dengan peningkatan nilai standar yang harus dicapai siswa yang dari tahun ke tahun semakin meningkat secara bertahap,” ungkap orangtua yang sedikit banyaknya memperhatikan pendidikan yang berkembang di Indonesia.
“Seharusnya pemerintah terlebih dahulu meningkatkan mutu dari para pengajarnya untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Dengan begitu, seiring meningkatnya mutu dari para pengajar, maka akan dengan mudah pula meningkatkan mutu dari siswanya. Dan dengan begitu akan sejalan pula dengan peningkatan nilai standar yang dilakukan secara bertahap,” ungkap Ida.
Untuk kelanjutan pendidikan Sari, Ida akan memanfaatkan ujian paket B yang akan digelar pada 1 hingga 3 Juli 2009 mendatang. “Saat ini dunia kerja bukan melihat ijazah dari seorang individu, namun, skil yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh individu tersebut,” tegasnya.
Pada data yang dihimpun wartawan, di SMP Negeri 42 Medan tak hanya Sari yang mengalami ketidaklulusan pada UN 2009 ini, tapi ada 47 siswa yang lain yang tidak lulus dari 163 siswa dari empat kelas yang menjadi peserta UN tahun ini
Kisah seorang Pengawas Ujian Nasional
Pagi ini, saat memoderasi milis-milis yang saya tangani dan membaca email yang baru saja masuk. Saya cukup tercengang membaca sebuah email dari mailing list Centre for the Betterment of Education (CFBE) yang menceritakan kisah seorang pengawas Ujian Nasional (UN) dalam menjalankan tugasnya.Terlepas dari kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional yang kalau dibahas tidak akan selesai dalam waktu berhari-hari, yang membuat saya miris adalah berita ini justru membuka sisi lain dari pendidikan kita, yaitu sifat “menggampangkan” dan “jalan pintas”Cukup menyedihkan melihat siswa kita tidak memahami apa arti dari sebuah proses dan mendewakan yang namanya “kelulusan” dan “nilai”.Mungkin ini adalah cerminan pendidikan yang diberikan kepada siswa kita.Dibawah ini adalah email lengkap di milis tersebut, yang linknya dapat diakses disini.From: cfbe@yahoogroups.com [mailto:cfbe@yahoogroups.com] On Behalf Of yosephine maryati
Sent: 23 April 2008 19:58
Subject: [cfbe] Dilema pengawas UN
Bermata tapi tak melihat,bertelinga tapi tak mendengar….. Tiba-tiba saya jadi ingat syair lagu milik Bimbo tersebut. Inti dari kalimat itu ialah orang yang seharusnya mampu melihat dan mampu mendengar karena memiliki mata dan telingga. Banyak sebab mengapa orang menjadi buta dan tuli meskipun memiliki panca indera yang utuh. Makna yang lebih dalam lagi yaitu buta tuli soal hati nurani.Dua hari menjadi pengawas ujian nasional SMA bagi saya sangat makan hati. Segala perasaan sebagai guru menjadi campur aduk,antara yang kasihan melihat beban psikologis anak juga perasaan tanggung jawab profesional sebagai pengawas. Kebetulan saya menjadi pengawas di salah satu SMA swasta. Seperti kebanyakan siswa-siswa di sekolah yang lain,betapa menakutkan dan menegangkan ketika anak IPS sekolah tersebut harus mengerjakan soal matematika. Tahun ini untuk pertama kalinya mata pelajaran matematika menjadi mapel ujian nasional. Banyak siswa IPS yang dahulu memilih jurusan IPS hanya karena menghindari matematika meskipun di program IPS tetap ada sampai kelas XII,namun tahun-tahun sebelumnya tidak diujiankan nasional.Selama dua jam menjadi pengawas bersama satu pengawas yang lain ,saya sangat menderita. Satu jam pertama saya berusaha mengendalikan perasaan saya yang sedang berkecamuk. Bagaimana mungkin,secara vulgar mereka saling memberikan jawaban meski tipe soal beda A dan B ( kata anak-anak soalnya antara A dan B mirip hanya nomernya beda) mereka dengan cueknya tengok kanan kiri. Kami sudah berusaha memperingatkan tapi seakan mereka tidak peduli pada para pengawas. Kami masih berusaha sabar karena beban psikologis mereka. Namun apakah karena kami memahami beban tersebut justru sikap kami menjadi permisif? Seperti anak kecil yang berbuat kesalahan,kita jarang mau berkata jujur bahwa itu salah. Kita dengan mudah memaafkan mereka karena menyadari bahwa mereka masih kecil. Apakah anak-anak itu minta dikasihani oleh para pengawas dengan membiarkan berbuat seenaknya?Akhirnya ketika waktu hampir habis,30 menit kami tegas saja. Bukan berarti pengawas diam itu berarti mereka bebas seenaknya. Saya sempat menatap mata salah seorang siswa yang dari awal sibuk cari-cari jawaban. Alhasil malah saya yang gantian dipelotin oleh dia. Saat itu sungguh saya merasa dilema menjadi seorang pengawas ujian. Kami sebagai pengawas pun tidak hilir mudik kesana kemari. Selama satu setengah jam kami duduk manis. Kurang lima menit waktu habis,lembar jawab siswa yang duduk di depan meja guru,masih banyak yang belum diisi. Saya sempat iba karena jelas dia tidak bisa seenaknya seperti teman yang lain meminta jawaban kepada teman. Ketika bel tanda berakhir saya meminta mereka untuk meninggalkan tempat ujian tapi beberapa anak berteriak ”sebentar Buk….” saya berpikir positif bahwa mereka memang butuh waktu untuk menghitamkan jawaban namun di pihak lain kesempatan itu digunakan untuk meminta jawaban secara vulgar. Saya sempat ”gilapen” apa-apaan ini. Akhirnya dengan menepuk-nepuk meja saya menghalau siswa yang sengaja mengambil jawaban teman.Pulang mengawasi ujian,saya menitikan air mata. Saya tidak mengira kejadian tadi yang disebut ujian nasional. Mengapa anak-anak menyikapi kegalauan dan kekuatiran tidak lulus dengan sikap yang negatif? Mengapa kami para pengawas seakan-akan dihimbau pengertiannya untuk memahami situasi berat ini dengan memberi kelonggaran kepada mereka. Kami melihat sesuatu yang sangat menyakitkan dalam proses belajar namun kami seakan tidak punya power. Kami harus berdamai dengan situasi,kooperatif dengan mereka. Hati nurani saya tersiksa.Saya tidak menduga,malam harinya saya ditelfon kepala sekolah saya dan diingatkan jangan terlalu serius menjaga ujian. Kalau melihat anak-anak yang saling memberi jawaban,pura-pura tidak tahu saja. Saya cukup kaget karena saya harus berkompromi dengan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani saya. Saya mohon kepala sekolah mencari pengganti pengawas yang sekiranya bisa kooperatif. Tetapi permohonan saya tidak dikabulkan hanya dijanjikan tahun depan saya tidak akan diusulkan jadi pengawas karena kebetulan mapel saya Bahasa Indonesia karena biasanya di tempat kami tidak punya tugas mengawasi. Hanya karena ada beberapa teman yang mengikuri prajabatan maka saya dan dua orang menggantikannya.Hari kedua,sebelum masuk ke ruangan ,panitia mengingatkan kepada para pengawas untuk tidak terlalu galak. Sejak tadi malam saya menduga pasti panitia mendapatkan laporan anak-anak(meski belum tentu benar laporan mereka) dan menghubungi kepala sekolah saya. Saya memaksakan diri datang meski setengah hati mengingat perintah kepala sekolah saya untuk menjaga hubungan dengan sekolah lain. Saat briefing ,para pengawas dimohon kerelaannya untuk menciptakan suasana sejuk ,mbok yang familiar dengan anak-anak. Kasihan anak-anak yang dapat pengawas yang sungguh-sungguh bekerja,ketika mengatakan hal itu panitia tersebut sebenarnya sambil guyon tapi bagi saya sangat menyakitkan hati.Saya heran dengan pernyataan itu, artinya ketika pengawas bekerja sesuai ketentuan malah dianggap merugikan anak-anak. Saya jadi apatis,percuma juga kalau saya ingin menjelaskan kepada panitia situasi yang terjadi kemarin karena menurut saya mereka tidak butuh argumen saya,yang mereka butuhkan ya
guru-guru yang kooperatif dan krompromis.Hari kedua saya lalui tanpa kesan karena saya menjadi begitu cuek jadi pengawas. Teman pengawas yang lain juga banyak yang merasakan seperti saya,sikap mereka ”porah-porah” artinya terserah aja deh.. Ternyata anak-anak tidak hanya saling ngobrol,mereka sungguh tidak punya malu lagi. Bahkan sobekan kertas saling dilempar. Gambaran tentang pendidikan di Indonesia tergambar sangat jelas di hadapan saya. Mengapa yang namanya ujian nasional mengajari orang bersikap tidak jujur. Kepanikan tidak hanya dirasakan murid tetapi guru sehingga guru pun menjadi begitu tegang. Akibatnya menyerah kalah dengan membiarkan dan memberi kelonggaran anak-anak saling memberi jawaban. Kasihan,biarkan saja…..Beberapa tahun yang lalu di salah satu SMA pinggiran di kota saya,mobil milik pengawas ujian sengaja dirusak oleh anak-anak yang merasa dirugikan karena tidak bisa minta jawaban teman gara-gara diawasi oleh pemilik mobil tersebut. Kekanak-kanakan dan sungguh tidak dewasa,ironis sekali. Mengapa guru-guru menjadi mudah menyerah, dan gentar dengan sikap anak-anak yang cenderung anarkis? Kadang kesannya guru jadi cari amannya sendiri dengan berkompromi membiarkan segala tingkah polah anak-anak ketika ujian. Sungguh dilematis menjadi pengawas ujian nasional…
0 komentar :
Posting Komentar
Bagi yang mau request software, games, dan lain-lain komen aja disini. . . . :)